Sebelum menetap di Surabaya, saya di rumah sudah memutuskan untuk tidak membawa kendaraan selama kuliah. Kenapa?
Alasan pertama, karena SIM saya sudah expired. Kenapa tidak diperpanjang? Itu ada alasan yang berselimut kriminal. :D. Alasan kedua, saya cukup ngeri melihat traffic di Surabaya. Ketiga, saya belum terlalu paham rute Surabaya, takut nyasar, terlebih saya yang tidak memiliki satupun saudara di sini. Kalau terjadi apa-apa di jalan, minta tolong siapa? :)
Dan alasan terakhir adalah saya ingin membiasakan diri tidak bergantung pada kendaraan pribadi. kenapa begitu?
Karena dengan kendaraan pribadi, interaksi saya dengan orang lain sangat kurang. Berbeda ketika misalnya, saya keluar gang kos dengan berjalan kaki, sepanjang gang, saya bisa bertegur sapa dengan ibu-ibu penjual sarapan, pedagang di toko kelontong, mencubit adek bayi yang sedang dijemur, bahkan mencium aroma mie ayam yang sering mangkal di gang kos. Hal-hal yang mungkin agak terbatas ketika kita mengendarai sepeda motor.
Menyapa dan disapa penting bagi saya, karena saya tergolong orang baru dan menumpang di lingkungan ini. Disapa duluan oleh ibu atau bapak tetangga siapa yang tidak bahagia? :)
Selain itu, tanpa kendaraan pribadi saya jadi belajar naik angkot. Mempelajari rute-rute angkot itu ternyata seru. Seseru membaca peta Surabaya. Menelusup ke sudut-sudut kota Surabaya (Eaa). Yah, walaupun dengan angkot, sudut-sudut itu sangat terbatas, dibatasi oleh trayek angkot.
Belajar naik angkot selain bisa bertemu banyak orang, juga bisa belajar banyak lo, belajar bersyukur, belajar menghargai, dan tentunya belajar ber-HEMAT. Untuk jalur-jalur jauh dan bisa dijangkau dengan satu trayek, pilih saja angkot. Daripada taksi atau sepeda motor.
Saya ketika baru di Surabaya, pergi ke Jembatan Merah Plaza (JMP) dari kos saya di Jemur Sari, Argo taksi saya kena Rp.51.000. (Fiuuuh...kalau bukan untuk keperluan yang sangat penting, saya nggak ke sana). Dan ternyata ketika mencoba dengan angkot, cukup Rp.8000 saja! Dengan rute dua kali naik angkot, per trayek Rp.4000.
Jadi nyesel pernah naik taksi ke sana. :D
See!Jadilah saya sekarang langganan ke JMP, by angkot tentunya.
Tapi memang jujur ada saja ketidakmudahan saat ngangkot. Yang paling saya rasakan adalah, boros waktu, kadang menunggu angkot bisa sampai setengah jam, tak ada satupun yang lewat. Belum lagi saat di perjalanan, kadang angkot harus ngetem lama untuk menunggu penumpang. Jadi pinternya kita mensiasati ini, solusinya, berangkat lebih awal dan sabar menunggu.
Pengalaman ini membuka lebih nyata pikiran saya tentang betapa pentingnya transportasi massal yang murah dan nyaman itu. Kita doakan saja semoga Surabaya dan kota-kota lain di Indonesia makin memperbanyak transportasi publik yang murah, nyaman dan tentunya aman.
GO GREEN! Manfaatkan trasportasi publik!
Yuhuuuu...... :)
Surabaya, 15 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar